proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz

Padamasa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. (Umar bin Abdul Aziz) Selamat Datang. Ahlan Wasahlan. Powered by Best Free Counters. K A T E G O R I : Prosespenyebaran hadis di masa Rasul tidak lepas dari dukungan berbagai faktor yang dapat diurai sebagai berikut : sebelum kodifikasi hadis dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn abd Sulaiman bin Yasar—ulama’ Madinah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Abu Manshur. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun pernah mengutus sepuluh ulama Sebagianbesar ulama telah sepakat bahwa kodifikasi hadis secara resmi mulai dilakukan oleh Khalifah Umar bin abdul Aziz. Pada masa sebelumnya, kodifikasi secara resmi belum dilakukan. Meskipun sahabat dan tabiin telah menulis hadis pada lembaran-lembaran, tetapi pencatatan itu atas inisiatif mereka sendiri dan untuk kepentingan masing-masing. Upayakodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw Urgensi ini menggerakkan hati khalifah ‘Umar bin 'Abdul Aziz --- seorang khalifah bani ‘Umaiyah yang menjabat khaliafah antara anginitu bertiup membawa hawa dingin yang menusuk. Tepat pukul 03:00 pagi, Difa bangun dengan hati yang gembira. 22 novenber 2010, remaja ini berjalan menuju kamar mandi dan segera mengambil air wudhu, dengan semangat yang setiap hari ada di hatinya, dia sholat malam menghadap Allah swt. Mann Sucht Frau Für Eine Nacht. I. PENDAHULUAN Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadith merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadith, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadith dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadith tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang definisi kodifikasi hadith, sejarah kodifikasi hadith dan faktor- faktor pendorong kodifikasi hadith. II. PEMBAHASAN A. DEFINISI KODIFIKASI HADITH Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman recording, penulisan writing down, pembukuan booking, pendaftaran listing, registration. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2] Adapun kata rasmiyan secara resmi mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat. Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah a. Kodifikasi hadith secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadith dilakukan oleh perorangan. b. Kegiatan kodifikasi hadith tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya. c. Tadwin hadith dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang- orang tertentu.[3] B. SEJARAH KODIFIKASI HADITH Ide penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab H=633 M. Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4] Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[5] Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun ahli hadith telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6] Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. 1 Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr 1272-1354 H, yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H, terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.. 2 Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya. 3 Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada Amrah Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H, karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.” Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri w. 123 H, karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan w. 103 H. Rasyid Ridha 1282-1354 H berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7] Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah 1 Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik 2 Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani 3 As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4 Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5 Musnad Asy-Syafi’i.[8] Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. b. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf. c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9] Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadith sejak Abad II H. 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadith– hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’.[10] 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir sekitar tahun 201- 300 H. Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11] 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin– an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] C. FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITH Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14] Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. D. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama dimasa kita sekarang.[15] Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi.[16] 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. 3. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. 5. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. 7. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di Sham. 8. ’Abdullah ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir.[17] Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluantadwin ini, sebagai khalifah Umarmemberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya.[18] III. ANALISIS Dari pemaparan tentang kodifikasi hadith diatas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadith yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran- ajaran Nabi Muhammad SAW, pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadith Nabi. Hal ini perlu dilakukan karena hadith merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syari’ah. Peran hadith dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al Qur’an yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya sholat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan sholat dan haji dijelaskan dalam hadith nabi. Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya. IV. KESIMPULAN Rencana untuk mengumpulkan hadith- hadith nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an. Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan melakukan pembukuan terhadap hadith. Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005. al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I. Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996. Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Ja’fariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992. Najwah,Nurun, Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997. Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997. [1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996, 122. [2] Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005, 34. [3] Ibid, 35. [4] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995, 49. [5] M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997,52. [6] Rasul Ja’fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992, 23. [8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya Bina Ilmu, 1993, 85 [10] Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010, 95. [11] Ibid, 97. [12] Ibid, 99. [13] Ibid, 101. [14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996, 68. [15] Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997, 194. [16] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, 85. [18] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195. – Sebagai umat Islam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Islam adalah yang wajar dan sangat baik, terutama tentang sejarah kodifikasi hadits. Banyak sekali umat Islam yang belajar hadits dan ulumul hadits, akan tetapi jarang mereka mengkaji sejarah pembukuannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan tentang sejarah kodifikasi hadits Pembukuan hadits. Disusun oleh Muhammad Nasikhul Abid 19204010129Mahasiswa S2 Program studi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga YogyakartaTugas Mata Kuliah Studi Hadits dalam Perspektif Pendidikan Islam Dosen Pengampu Prof. Dr. Hj. Marhumah, Pengertian Kodifikasi Hadits Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin yang merupakan bentuk masdar dari dawwana, yudawwinu, tadwiinan yang berarti pembukuan. Pembukuan adalah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan yang ada di dalam dada, kemudian menyusunnya hingga menjadi satu kitab.[1] Jadi kodifikasi berbeda dengan menulis, karena menulis belum tentu disusun menjadi buku, sedangkan kodifikasi tulisan yang telah dibukukan. Baca juga Keutamaan Shalat Dhuha Menurut Hadits Shahih Faktor-faktor Kodifikasi Hadits Upaya pembukuan hadits secara resmi ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya Al-Qur’an telah dibukukan dan tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadits. Para perawi hadits telah banyak yang meninggal. Jika hadits tidak segera ditulis dan dibukukan, maka lama kelamaan hadits akan hilang bersama dengan meninggalnya perawi hadits. Daerah kekuasaan Islam semakin luas dan peristiwa-peristiwa umat Islam semakin kompleks, sehingga memerlukan petunjuk dari hadits sebagai sumber agama. Pemalsuan hadits semakin merajalela. Jika kejadian tersebut dibiarkan, maka akan mengancam kemurnian dan kelestarian hadits.[2] Download Buku Telaah Kritis atas Doktrin Faham Wahabi/ Salafi Sejarah Kodifikasi Pembukuan Hadits Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ hingga beliau disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima. Beliau menetapkan dan memerintah ulama-ulama pada masanya untuk melakukan kodifikasi hadits disebabkan karena kesadaran beliau atas banyaknya para perawi hadits semakin lama banyak yang meninggal. Sehingga beliau khawatir jika hadits tidak segera dibukukan maka akan hilang dan lenyap.[3] Di bawah ini akan dijelaskan 7 periode sejarah kodifikasi hadits, sebagai berikut Periode pertama adalah periode pada zaman Rasulullah SAW. Pada periode ini dikenal dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[4] Sehingga pada awal-awal kemajuan Islam Rasulullah SAW melarang para shahabatnya untuk menulis hadits, karena disamping akan bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an juga agar umat Islam lebih fokus pada Al-Qur’an.[5] Akan tetapi dengan berjalannya waktu tidak sedikit di antara para shahabat banyak yang berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi SAW. Hal tersebut dikarenakan selain melarang, Rasulullah di lain waktu juga membolehkan para shahabatnya untuk menulis hadits. Sehingga banyak di antara para shahabat yang memiliki shahifah hadits, di antaranya Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin Jundab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.[6] Periode kedua adalah dimulai pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada periode ini dikenal dengan masa pembatasan atau pengurangan dalam periwayatan hadits Nabi SAW sebagai bentuk kehati-hatian. Usaha para shahabat dalam membatasi periwayatan hadits dilatar belakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Hal ini dikarenakan suasana pada waktu itu tidak kondusif, bahkan terjadi perpecahan dan fitnah di dalam umat Islam itu sendiri,[7] di antaranya munculnya nabi palsu, terbunuhnya Umar, Usman, dan Ali, banyak shahabat yang tidak suka kepada Usman, munculnya Syi’ah, dll. Sehingga para shahabat sangat berhati-hati dalam menerima kegiatan periwayatan hadits. Para shahabat pada periode ini meriwayatkan hadits melalui dua cara, yaitu bilafdzi dan bilmakna.[8] Periode ketiga adalah masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah. Periode ini berlangsung pada masa shahabat kecil/ muda dan tabi’in atau pada masa Dinasti Muawwiyah sampai pada akhir abad 1 Hijriyah. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam Suriah, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, hingga Spanyol. Bertambahnya wilayah Islam berdampak pada tersebarnya hadits di dalamnya.[9] Periode Keempat adalah Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Penulisan dan pembukuan hadits ini dimulai setelah adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz 717 – 720 M. Perintah resmi tersebut sebagai instruksi langsung dari Umar untuk seorang Ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm Ibnu Shihab Az-Zuhri yang menjabat sebagai Gubernur Madinah agar menuliskan hadits Nabi Muhammad SAW.[10] Latar belakang Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan agar mengkodifikasi hadist adalah karena kekhawatiran akan hilangnya hadits seiring meninggalnya para perawi hadits dan khawatir akan bercampurnya hadits Nabi SAW dengan hadits palsu. Pengkodifikasian hadits ini berlangsung hingga pemerintahan Bani Abbasiyah tepatnya pada pertengahan awal abad ke III H. Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij w. 179 H di Makkah, Ibnu Shihab Az-Zuhri w. 124 H, Ali Ishaq w. 151 H dan Imam Malik w. 179 H di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shihab w. 160 H dan Abdurrahman Al-Auza’i w. 156 H di Suriah.[11] Selain itu juga termasuk imam Syafi’i w. 204 H di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal w. 241 H di Baghdad.[12] Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik, termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Dan kitab hadits pada periode ini masih bercampur dengan fatwa shahabat, tabi’in, hingga hadits palsu karena belum ada penyeleksian secara penuh.[13] Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Periode ini berangsung sekitar pertengah awal abad ke III Hijriyah, atau tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Mu’tadir.[14] Periode ini ulama-ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits, yakni memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits mauquf dan maqtu’. Pada periode ini lahirlah kitab induk hadits Kutubus Sittah, di antaranya Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari 194 – 252 H Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim 204 – 261 H Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud 202 – 261 H Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi 200 – 279 H Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i 215 – 302 H Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah 207 – 273 H[15] Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung 2 setengah abad, mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H. Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode kelima, sehingga periode ini juga melahirkan banyak ulama dan kitab hadits, di antaranya Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Mu’jam Ash-Shaghir. Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra. Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll.[16] Periode Ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Pada periode ini ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Para periode ini hanya sedikit ulama hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hapalan yang sempurna, di antaranya ulama yang masih menyampaikan hadits secara hapalan sempurna adalah Imam Al-Iraqy w. 806 H, Ibnu Hajar Al-Asqalani w. 852 H, As-Sakhawy w. 902 H.[17] Ketiganya mempunyai hubungan sebagai guru dan murid. Footnote [1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Hadits, Kairo Maktabah Wahbah, Cet. ke-II, 1994, hlm. 33. [2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010, hlm. 88. [3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir, SemarangPustaka Rizki Putra, 2009, Ed. 3, [4] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 18. [5] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 89. [6] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 19. [7] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 90. [8] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 20. [9] Ibid., hlm. 20 [10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010, hlm. 75. [11] Ibid., hlm. 91. [12] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 20-21. [13] Ibid., hlm. 21. [14] Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta LISK, 2000, hlm. 197. [15] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 21. [16] Ibid., hlm. 22-23. [17] Fathur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Bandung Al-Ma’arif, 1974, hlm. 296. Daftar Pustaka Abdul Hakim, Atang. 2003. Metodologi Studi Islam. Bandung Remaja Rosdakarya. Al-Qaththan, Manna’. 1994. Mabahis fi Ulum Al-Hadits. Kairo Maktabah Wahbah, Cet. ke-II. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009. Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir. SemarangPustaka Rizki Putra, Ed. 3. Muhajirin. 2016. Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset. Nata, Abudin. 2000. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta LISK. Rahman, Fathur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung Al-Ma’arif. Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7. Ini Alasan Hadis Dibukukan di Masa Umayyah Rep Syahruddin el-Fikri/ Red Agung Sasongko Jumat 22 Apr 2022 2021 WIB Foto Penulisan hadis ilustrasi. JAKARTA — Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah 717-720 M. Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang. Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar. Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz Madinah dan Makkah dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis. Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam Suriah; Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan Iran; Hasyim bin Basyir di Wasit Irak; Jarir bin Abdul Hamid di Rayy Iran; dan Abdullah bin Wahhab di Mesir. Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW. Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela atau al-mu’jam kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan. Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H. Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in generasi sesudah tabiin yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad periwayatan yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ palsu. Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah. BACA JUGA Ikuti News Analysis Isu-Isu Terkini Persepektif Berita Lainnya Source S S Se ej a r ra a h h K K Ke b bu u d da a y y y a a a an I sl a am m m K Kur iik u ul um m 2 13 23 MENGAMATI Setelah mengamati nilai-nilai karakter di atas dapat disimpulkan bahwa kedisplinandan istiqamah adalah sikaf yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan. MARI BERTANYA Setelah mengamati kasus tersebut di atas, maka apa yang dapat dituliskan ? - - - - TAMBAH WAWASAN 1. PROSES KODIFIKASI HADIS MASA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ Pengumpulan dan penyempurnaan hadis terjadi pada masa pemerintahan khalifah ke- Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz tahun – . Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur Madinah yang memerintah pada waktu itu agar segera mengumumkan pada masyarakat umum tentang gerakan penghimpunan dan penyempurnaan hadis. Kebijakan tersebut dilakukan oleh khalifah Umar karena kondisi di lapangan, hadis telah diselewengkan dan telah bercampur aduk dengan ucapan-ucapan israiliyat, hadis difungsikan untuk menguatkan kedudukan kelompok-kelompok tertentu seperti, Bani Umayyah, kelompok khawarij dan kelompok syiah yang saling berebut membuat hadis-hadis untuk menguatkan Di unduh dari B B B u u u k k k u u u u u S S i s s s w w w w a w a K K e e e e l a s X X I 24 eksistensi kelompok masing-masing. Setelah perintah dari gubernur Madinah atas instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka berangkatlah sahabat-sahabat nabi dan beberapa thabiin untuk mencari dan menyeleksi hadis-hadis nabi. mam- imam hadis berjuang dngan sungguh-sungguh, sabar dan istiqamah di dalam mencari dan melacak sebuah hadis. Mereka mengembara sampai di wilayah- wilayah yang setelah mengetahui bahwa ada sumber hadis di wilayah tersebut. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan–bulan bahkan betahun-tahun mereka dengan sabar mencari dan mengejar informasi tentang keberadan sebuah hadis. mam-imam hadis yang sangat terkenal seperti Bukhari, Muslim, Nasai, Turmizi, Ahmad bin ambal dan Daruqutni. Mereka ini yang dengan serius meluangkan waktunya mencari, melacak dan selanjutnya menyeleksi dan menghimpun hadis. Dengan upaya keras dari para imam-imam hadis ini, maka jadilah kitab- kitab hadis yang sering kita baca sebagai rujukan. 2. PROSES PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA BANI UMAYYAH I Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman permulaan slam termasuk masa Bani Umayyah meliputi bidang yaitu bidang Diniyah, bidang Tarikh dan bidang Filsafat. Pembesar Bani Umayyah tidak berupaya untuk mengembangkan peradaban lainnya. Akan tetapi Bani Umayyah secara khusus menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan, para khalifah mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga ilmu berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal . Pemerintah Bani Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair, tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan pembesar istana. . Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu berkenalan dengan ilsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan khutbah-khutbah balighah berbahasa indah . Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan budaya pada masa Bani Umaiyyah memfokuskan pada tiga gerakan besar yaitu; a Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat kuat pada saat itu. Di unduh dari S S Se ej a r ra a h h K K Ke b bu u d da a y y y a a a an I sl a am m m K Kur iik u ul um m 2 13 25 b Gerakan ilsafat, karena ahli agama diakhir daulah Umayyah terpaksa menggunakan ilsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi. c Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat. 3. PERADABAN YANG TUMBUH PADA MASA BANI UMAYYAH I 0% found this document useful 0 votes973 views2 pagesDescriptionsejarah kebudayaan islamCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes973 views2 pagesSejarah Kodifikasi Hadis Pada Masa Khalifah Umar Bin Abdul AzizJump to Page You are on page 1of 2 You're Reading a Free Preview Page 2 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz